Kamis, 12 September 2013

Bahaya Zina


Melihat bahwa bahaya yang ditimbulkan oleh zina merupakan bahaya yang tergolong besar, disamping juga bertentangan dengan aturan universal yang diberlakukan untuk menjaga kejelasan nasab (keturunan), menjaga kesucian dan kehormatan diri, juga mewaspadai hal hal yang menimbulkan permusuhan serta perasaan benci diantara manusia, disebabkan pengrusakan terhadap kesucian istri, putri, saudara perempuan dan ibu mereka, yang ini semua jelas akan merusak tatanan kehidupan.
Melihat hal itu semua, pantaslah bahaya zina itu setingkat di bawah pembunuhan.
Al Imam Ahmad berkata, “Aku tidak mengetahui sebuah dosa – setelah dosa membunuh jiwa – yang lebih besar dari dosa zina.”
      Dan Allah menegaskan pengharaman zina dalam firman-Nya:
“Dan orang orang yang tidak menyembah Tuhan lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam  keadaan  terhina  kecuali orang orang yang bertaubat ” (QS. Al Furqan, 68 –7 ).
Dalam ayat tersebut, Allah menggandengkan zina dengan syirik dan membunuh jiwa, dan hukumannya kekal dalam azab yang berat dan dilipat gandakan, selama pelakunya tidak menetralisir hal tersebut dengan cara bertaubat, beriman dan beramal shalih.
Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji (fahisyah) dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isra’: 32).
Di sini Allah menjelaskan tentang kejinya zina, karena kata “fahisyah” maknanya adalah perbuatan keji atau kotor yang sudah mencapai tingkat yang tinggi dan diakui kekejiannya oleh setiap orang yang berakal, bahkan oleh sebagian banyak binatang.
Sebagaimana disebutkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya, dari Amru bin Maimun Al Audi, ia berkata, “Aku pernah melihat – pada masa jahiliyah – seekor kera jantan yang berzina dengan seekor kera betina, lalu datanglah kawanan kera mengerumuni mereka berdua dan melempari keduanya sampai mati.”
Kemudian Allah juga memberitahukan bahwa zina adalah seburuk-buruk jalan, karena merupakan jalan kebinasaan, kehancuran dan kehinaan di dunia, siksaan dan azab di akhirat.
Dan karena menikahi bekas istri-istri ayah termasuk perbuatan yang sangat jelak sekali, sehingga Allah secara khusus memberikan “cela” tambahan bagi orang yang melakukannya.
Allah berfirman (setelah secara tegas melarang kaum muslimin untuk menikahi bekas istri-istri ayah mereka):
“Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk buruk jalan (yang ditempuh).” (QS. An Nisa’: 22).
Allah juga mensyaratkan keberuntungan seorang hamba pada kemampuannya dalam menjaga kesuciannya, tidak ada jalan menuju keberuntungan kecuali dengan menjaga kesucian.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka, atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Mu’minun: 1 – 7 ).
Dalam ayat-ayat ini ada tiga hal yang diungkapkan:
Pertama: bahwa orang yang tidak menjaga kemaluannya, tidak termasuk orang yang beruntung.
Kedua: dia termasuk orang yang tercela.
Ketiga: dia termasuk orang yang melampaui batas.
Jadi, dia tidak akan mendapat keberuntungan, serta berhak mendapat predikat “melampaui batas”, dan jatuh pada tindakan yang membuatnya tercela. Padahal beratnya beban dalam menahan syahwat itu, lebih ringan ketimbang menanggung sebagian akibat yang disebutkan tadi.
Dan karena ujung pangkal perbuatan zina yang keji ini tumbuh dari pandangan mata, maka Allah I lebih mendahulukan perintah memalingkan pandangan mata sebelum perintah menjaga kemaluan, karena banyak musibah besar yang berasal dari pandangan; seperti kobaran api yang besar berasal dari bunga api. Mulanya hanya pandangan, kemudian khayalan, kemudian langkah nyata, kemudian tindak kejahatan besar (zina).
Oleh karena itu, ada yang mengatakan bahwa barang siapa yang bisa menjaga empat hal, maka berarti dia telah menyelamatkan agamanya: Al Lahazhat (pandangan mata), Al Khatharat (pikiran yang terlintas di hati), Al Lafazhat (ucapan), Al Khuthuwat (langkah nyata untuk sebuah perbuatan).
Dan seyogyanya, seorang hamba Allah menjadi penjaga empat pintu di atas dengan penuh siap siaga agar tidak kecolongan, sebab dari sana musuh menyusup, menyerang dan merasuk kedalam dirinya dan merusak segalanya.



Rabu, 11 September 2013

Tata Cara Thaharah dan Sholat Bagi Orang yang Sakit

THAHARAH ORANG yang SAKIT
1. Orang yang sakit wajib bersuci dengan air, yaitu wudhu untuk hadats kecil, dan mandi untuk hadats besar.
2. Apabila dia tidak dapat bersuci dengan air, karena sakit, atau khawatir sakitnya akan bertambah parah dan lama sembuhnya bila terkena air, maka dia boleh bertayammum.
3. Cara bertayammum adalah; menepuk tanah dengan kedua telapak tangan, lalu diusapkan keseluruh wajah, kemudian tangan yang satu mengusap tangan yang lain hingga pergelangan tangan.
4. Apabila orang yang sakit tidak bisa melakukan bersuci sendiri, maka dapat diwudhu'kan, dan ditayammumkan oleh orang lain.
5. Apabila dibeberapa bagian anggota yang mesti disucikan terdapat luka, maka cukup dibasuh dengan air, akan tetapi bila basuhannya itu membahayakan, maka cukup diusap dengan tangan yang basah, apabila usapan itu juga membahayakan maka cukup bertayammum.
6. Apabila pada bagian anggota badan ada yang patah, yang dibalut dengan kain pembalut atau digips, maka bagian tersebut cukup diusap dengan air (tidak perlu dibasuh), dan tidak perlu tayammum, karena usapan itu pengganti dari basuhan.
7. Boleh bertayammum pada tembok, atau apa saja yang suci, yang berdebu, apabila tembok yang diusap itu dari sesuatu yang tidak sejenis tanah (misalnya cat), maka tidak boleh dijadikan sebagai alat tayammum. Kecuali jika tembok tersebut berdebu.
8. Jika tidak memungkinkan tayammum di atas tanah, tembok atau apapun yang berdebu, maka boleh meletakkan tangan di tempat atau di sapu tangan untuk tayammum.
9. Apabila seseorang bertayammum untuk shalat tertentu, dan tidak batal (masih suci sampai waktu shalat yang lain) maka tidak perlu bertayammum lagi untuk shalat yang keduanya, karena dia masih suci dan tidak ada yang membatalkan tayamumnya.
10.Orang yang sakit diwajibkan untuk membersihkan badannya dari najis. Apabila tidak mampu (tidak mungkin), maka shalatlah apa adanya. Shalatnya tersebut sah dan tidak perlu mengulanginya.
11.Orang yang sakit diwajibkan shalat dengan pakaian yang suci. Apabila pakaiannya terkena najis, maka pakaian tersebut wajib dicuci atau diganti dengan pakaian yang suci. Namun apabila tidak mampu, maka shalatlah apa adanya, shalatnya tersebut sah dan tidak perlu mengulanginya.
12.Orang yang sakit diwajibkan shalat di atas tempat yang suci. Apabila tempatnya terkena najis, maka alas tempat shalat itu wajib dicuci atau diganti dengan tempat lain atau dialas dengan sesuatu yang suci, namun apabila itu semuanya tidak memungkinkan, maka ia shalat apa adanya (sesuai dengan kemampuan), shalatnya sah dan tidak harus mengulang.
13.Orang yang sakit tidak boleh mengakhirkan shalat dari waktunya hanya karena tidak mampu bersuci. Ia harus melakukan bersuci sesuai dengan kemampuannya, kemudian shalat pada waktunya walaupun pada badannya, tempatnya, atau pakainnya terdapat najis yang tidak mampu dihilangkan.

SHALAT ORANG yang SAKIT
1. Orang yang sakit wajib mengerjakan shalat fardhu dengan berdiri, meskipun dengan membungkuk atau bersandar pada dinding, atau tongkat.
2. Apabila orang yang sakit tidak mampu berdiri, maka shalatlah dengan duduk, dan diutamakan duduk bersila di tempat berdiri dan ruku’.
3. Apabila tidak mampu duduk, maka shalatlah dengan berbaring miring dan dengan menghadap kiblat, apabila tidak bisa menghadap kiblat, maka shalatlah dengan menghadap kemana saja, dan shalatnya dinyatakan sah dan tidak perlu diulang.
4. Apabila tidak mampu shalat dengan berbaring miring. Maka shalatlah dengan posisi terlentang dan kaki menghadap ke arah kiblat. Dan jika tidak mampu menghadapkan kaki ke arah kiblat, maka shalatlah sesuai dengan kemampuan, dan tidak harus mengulang shalatnya.
5. Orang yang sakit wajib melakukan ruku’ dan sujud dalam shalatnya. Apabila tidak mampu, maka ia memberikan isyarat dengan kepala, dan menjadikan sujud lebih menunduk dari pada ruku’. Apabila hanya mampu ruku' tanpa sujud, maka harus ruku’ dan menggunakan isyarat untuk sujud. Apabila hanya mampu sujud tanpa ruku’, maka ia harus sujud dan menggunakan isyarat untuk ruku’.
6. Apabila ia tidak mampu menggunakan isyarat dengan kepala dalam ruku' dan sujudnya, maka lakukanlah isyarat dengan mata, memejam sedikit untuk ruku’ dan lebih banyak untuk sujud. Adapun isyarat dengan jari sebagaimana yang dikerjakan selama ini oleh sebagian orang yang sakit, hal itu tidak benar, saya tidak menemukan dasarnya dari Al Qur’an, sunnah maupun pendapat ulama.
7. Apabila ia tidak mampu memberi isyarat dengan kepala atau mata, maka shalatnya dengan hati dan bagi seseorang yang dalam kondisi seperti ini yang terpenting adalah niatnya.
8. Orang yang sakit wajib melakukan shalat pada waktunya serta mengerjakan seluruh kewajiban yang mampu dilakukannya. Jika ada kesulitan dalam mengerjakan setiap shalat pada waktunya maka boleh ia menjamak antara Dzuhur dan Ashar, dan antara Maghrib dan Isya’, baik jamak taqdim (melakukan shalat Ashar pada waktu shalat Dzuhur, atau Isya’ pada waktu shalat Maghrib), maupun jamak ta'khir (melakukan shalat Dzuhur pada waktu shalat Ashar, atau Maghrib pada waktu shalat Isya’) sesuai dengan kemampuan yang ada, sedangkan shalat Subuh tidak boleh dijamak.
9. Dalam keadaan safar/perjalanan (untuk berobat ke negara lain), orang yang sakit boleh mengqashar shalat yang empat raka'at, yakni mengerjakan shalat Dzuhur, Ashar, dan Isya’ dua raka'at dua raka'at sampai kepulangannya, baik perjalanannya itu untuk waktu yang lama maupun singkat.


#Tuntunan Thaharah dan Shalat