Senin, 15 April 2013

Ciri-ciri Belajar


Ciri-ciri belajar adalah sebagai berikut.
1.     Perubahan yang terjadi secara sadar.
Individu yang belajar akan mengalamin perubahan, sekurang-kurangnya individu telah merasakan terjadi adanya suatu perubahan dalam dirinya. Contohnya seorang anak yang mulai bisa menulis akan memiliki kebiasaan baru membuat coretan-coretan tulisan atau huruf- huruf yang ia pelajari
2.     Perubahan dalam belajar bersifat aktif dan positif
Belajar seharusnya membuat seseorang lebih baik atau lebih cakap dalam bekerja. Contohnya jika seorang balajar computer, lama kelamaaan ia akan semakin mahir dalam menggunakan computer, misalnya dapat mengetik lebih cepat dan lebih sedikit membuat kesalahan. Perubahan-perubahan itu bertujuan memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian semakin banyak atau semakin intensif usaha belajar itu dilakukan maka akan semakin baik perubahan yang diperoleh.
3.     Perubahan dalam belajar bersifat fungsional
Suatu perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan atau proses belajar berikutnya. Misalnya seorang anak yang belajar menulis, awalnya hanya mengenal huruf atau abjad, kemudian berkembang menjadi kata, selanjutnya akan berkembang lagi menjadi kalimat, hingga akhirnya ia dapat membuat sebuah karangan. Kemudian kemampuan tersebut masih dapat dikembangkan lagi sesuai dengan usaha belajar yang dilakukan oleh individu tersebut.
4.     Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara.
Ilmu pengetahuan yang kita peroleh relative akan selalu melekat dalam ingatan kita, meskipun pengetahuan itu diperoleh melalui pengalaman. Misalnya jika mula-mula tidak bisa naik sepeda, setelah belajar maka kita bisa naik sepeda, dan hasil dari belajar itu umumnya adalah permanen.
5.     Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah
Maksud dari pernyataan tersebut adalah bahwa perubahan tingkah laku yang terjadi disebabkan adanya tujuan yang akan dicapai. Perubahan dalam belajar terarah pada perubahan tingkah laku, yang benar-benar bisa disadari. Contohnya belajar menjahit akan terlihat hasilnya misalnya pada hasil jahitan yang semakin rapi.
6.     Perubahan mencakup seluruh tingkah laku.
Perubahan dalam belajar mencakup seluruh aspek tingkah laku individu. Misalnya perbuatan, perkataan, sikap, dan kebiasaan.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, kita melihat bahwa definisi belajar cenderung menitik beratkan pada usaha tiap individu yang seringkali berkaitan dengan ketekunan, keteguhan hati, dan intensitas belajar itu sendiri.

Ciri-ciri Belajar


Ciri-ciri belajar adalah sebagai berikut.
1.     Perubahan yang terjadi secara sadar.
Individu yang belajar akan mengalamin perubahan, sekurang-kurangnya individu telah merasakan terjadi adanya suatu perubahan dalam dirinya. Contohnya seorang anak yang mulai bisa menulis akan memiliki kebiasaan baru membuat coretan-coretan tulisan atau huruf- huruf yang ia pelajari
2.     Perubahan dalam belajar bersifat aktif dan positif
Belajar seharusnya membuat seseorang lebih baik atau lebih cakap dalam bekerja. Contohnya jika seorang balajar computer, lama kelamaaan ia akan semakin mahir dalam menggunakan computer, misalnya dapat mengetik lebih cepat dan lebih sedikit membuat kesalahan. Perubahan-perubahan itu bertujuan memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian semakin banyak atau semakin intensif usaha belajar itu dilakukan maka akan semakin baik perubahan yang diperoleh.
3.     Perubahan dalam belajar bersifat fungsional
Suatu perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan atau proses belajar berikutnya. Misalnya seorang anak yang belajar menulis, awalnya hanya mengenal huruf atau abjad, kemudian berkembang menjadi kata, selanjutnya akan berkembang lagi menjadi kalimat, hingga akhirnya ia dapat membuat sebuah karangan. Kemudian kemampuan tersebut masih dapat dikembangkan lagi sesuai dengan usaha belajar yang dilakukan oleh individu tersebut.
4.     Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara.
Ilmu pengetahuan yang kita peroleh relative akan selalu melekat dalam ingatan kita, meskipun pengetahuan itu diperoleh melalui pengalaman. Misalnya jika mula-mula tidak bisa naik sepeda, setelah belajar maka kita bisa naik sepeda, dan hasil dari belajar itu umumnya adalah permanen.
5.     Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah
Maksud dari pernyataan tersebut adalah bahwa perubahan tingkah laku yang terjadi disebabkan adanya tujuan yang akan dicapai. Perubahan dalam belajar terarah pada perubahan tingkah laku, yang benar-benar bisa disadari. Contohnya belajar menjahit akan terlihat hasilnya misalnya pada hasil jahitan yang semakin rapi.
6.     Perubahan mencakup seluruh tingkah laku.
Perubahan dalam belajar mencakup seluruh aspek tingkah laku individu. Misalnya perbuatan, perkataan, sikap, dan kebiasaan.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, kita melihat bahwa definisi belajar cenderung menitik beratkan pada usaha tiap individu yang seringkali berkaitan dengan ketekunan, keteguhan hati, dan intensitas belajar itu sendiri.

Minggu, 14 April 2013

Tujuan Belajar


Belajar merupakan kegiatan penting yang harus dilakukan setiap orang secara maksimal untuk dapat mengusai atau memperoleh sesuatu. Belajar dapat didefinisikan sebagai “suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan mengadakan perubahan di dalam diri seseorang, mencakup perubahan tingkah laku, sikap, kebiasaan, ilmu pengetahuan keterampilan, dan sebagainya.

1.   Belajar adalah suatu usaha. Perbuatan yang dilakukan secara sungguh-sungguh, dengan sistemamatis dengan mendayagunakan semua potensi yang dimiliki, baik fisik ,mental serta dana, panca indera , otak dan anggota tubuh lainnya , demikian pula aspek-aspek kejiwaan intelegensi, bakat, motivasi, minat dan sebagainya.
2.   Belajar bertujuan mengadakan perubahan di dalam diri antara lain tingkah laku. Misalnya seorang anak kecil yang belum memasuki sekolah bertingkah laku manja, egois, cengeng, dan sebagainya. Kemudian setelah beberapa bulan masuk sekolah dasar,tingkah lakunya berubah menjadi anak yang tidak lagi cengeng, lebih mandiri,  dan dapat bergaul dengan baik dengan teman-temannya. Hal ini menunjukkan bahwa anak tersebut telah belajar dari lingkungan yang baru.
3.   Belajar bertujuan mengubah kebiasaan, dari yang buruk menjadi baik. Contohnya mengubah kebiasaan merokok menjadi tidak merokok, menghilangkan ketergantungan pada minum-minum keras, atau mengubah kebiasaan anak yang sering keluyuran, dapat dilakukan dengan suatu proses belajar.
4.   Belajar bertujuan untuk mengubah sikap dari negatif menjadi positif, tidak hormat menjadi hormat, benci menjadi sayang, dan sebagainya. Misalnya seorang remaja yang tadinya selalu bersikap menentang orang tuanya dapat diubah menjadi lebih hormat dan patuh pada orangtua.
5.   Belajar bertujuan untuk meningkatkan keterampilan atau kecakapan. Misalnya dalam hal olahraga, kesenian, jasa, tehnik, pertanian, perikanan, pelayaran, dan sebagainya. Seorang yang terampil main bulu tangkis, bola, tinju, maupun cabang olahraga lainnya sebagian besar ditentukan oleh ketekunan belajar dan latihan yang sungguh-sungguh. Demikian pula halnya dengan keterampilan bermain gitar, piano, menari, melukis, bertukang, membuat barang-barang kerajinan, semua perlu usaha dengan belajar yang serius, rajin dan tekun.
6.   Belajar bertujuan untuk menambah pengetahuan dalam berbagai bidang ilmu. Misalnya seorang anak yang awalnya  tidak bisa membaca, menulis, dan berhitung, menjadi bisa karena belajar.
  Dari uraian diatas dapat diketahui belajar adalah kegiatan manusia yang sangat penting dan harus dilakukan selama hidup, karena melalui belajar manusia dapat melakukan perbaikan dalam berbagai hal yang menyangkut kepentingan hidup. Dengan kata lain, dengan belajar manusia dapat memperbaiki nasib, mencapai cita-cita, dan memperoleh kesempatan yang lebih luas untuk berkarya.
 Pengertian belajar yang secara umum disepakati secara luas adalah bahwa pada dasarnya belajar merujuk pada suatu perubahan. Akan tetapi tidak semua perubahan dalam tingkah laku, sikap, ataupun kebiasaan dapat disebut sebagai hasil belajar. Contohnya keadaan mabuk akibat minum minuman keras dapat menyebabkan perubahan tingkah laku dan sikap, tetapi tidak dapat disebut sebagai hasil belajar.

Sabtu, 13 April 2013

Belajar


Pengertian Belajar

Banyak sekali definisi dari pengertian belajar, dan berikut ini adalah pendapat atau pandangan - pandangan menurut para ahli : 
Skinner, dalam bukunya educational psychology: the teaching-teaching process, berpendapat bahwa “belajar adalah suatu proses adaptasi yang berlangsung secara progresif “.
Chaplin dalam dictionary of psychology yaitu membuat 2 macam rumusan. Rumusan pertama, “belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman“. Rumusan kedua “belajar adalah proses memperoleh respon-respon sebagai akibat adanya latihan khusus”.
Hitzman (1978) dalam buku the psychology of learning and memory. Berpandangan bahwa perubahan yang ditimbulkan oleh pengalaman tersebut ,baru dapat dikatakan belajar apabila mempengaruhi organisme.
Dan para pakar psikologi belajar itu menambahkan bahwa pengalaman hidup sehari-hari dalam bentuk apapun dapat diartikan sebagai belajar karena berpengaruh pada pembentukan kepribadian organisme yang bersangkutan.
Witting (1981) mendefinisikan dalam bukunya psychology of learning “belajar ialah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman”. Dengan demikian, witting lebih menekankan  pada behaviour repertoire change,yakni perubahan yang menyangkut aspek psikofisik organisme bukan behaviour change.
Reber (1989) dalam kamusnya, dictionary of psychology. Membatasi belajar dengan merumuskan 2 macam definisi. Yang pertama “belajar adalah proses memperoleh pengetahuan”. Sehingga dipandangan para ahli kurang representatif  karena tidak memasukan keterampilan non kognitif. Yang kedua, “belajar yaitu suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat“. Dalam hal ini memiliki 4 macam istilah esensial yang perlu untuk dipahami. Berikut istilah-istilah tersebut:
1)     Relatively permanent (yang secara umum menetap). Yang bermakna bahwa perubahan yang berupa sementara seperti nperubahan karena mabuk,lelah jenuh ,dan perubahan karena kematangan fisik bukanlah termasuk belajar.
2)     Response potentiality (kemampuan bereaksi). Merupakan pengakuan terhadap adanya perbedaan antara belajar dan penampilan atau kinerja hasil-hasil belajar. Hal ini merefleksikan keyakinan bahwa belajar itu merupakan peristiwa hipotesis yang hanya dapat dikenali melalui perubahan kinerja akademik yang dapat diukur.
3)     Reinforced (yang diperkuat). Bermakna bahwa kemajuan dari proses belajar mungkin akan musnah atau sangat lemah apabila tidak diberi penguatan.
4)     Practice (praktek atau latihan) menunjukkan bahwa proses belajar membutuhkan latihan yang berulang-ulang untuk menjamin kelestarian kinerja akademik yang telah dicapai siswa.
Timbulnya perbedaan pendapat disebabkan adanya perbedaan sudut pandang.akan tetapi dapat disimpulkan secara umum belajar merupakan tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan kognitif.

Kamis, 11 April 2013

Teori Belajar (Behavior) Menurut Watson

John Watson 1878-1958; adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.[1]
Teori Watson secara umum sama dengan teori Thorndike, tetapi ada perbedaan yang cukup signifikan yaitu pengakuan adanya terhadap stimulus dan respon yang dapat diamati dan dikukur.
Watson adalah seorang tokoh aliran behavioristik yang datang sesudah Thorndike. Menurutnya, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observabel) dan dapat diukur.

Dengan kata lain, walaupun ia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia tetep mengakui behwa perubahan-perubahan mental dalam benak siswa itu penting, namun semua itu tidak dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau belum karena tidak dapat diamati.[2]
Pandangan utama Watson:
a.       Psikologi mempelajari stimulus dan respons (S-R Psychology). Yang dimaksud dgn stimulus adalah semua obyek di lingkungan, termasuk juga perubahan jaringan dalam tubuh. Respon adalah apapun yang dilakukan sebagai jawaban terhadap stimulus, mulai dari tingkat sederhana hingga tingkat tinggi, juga termasuk pengeluaran kelenjar. Respon ada yang overt dan covert, learned dan unlearned
b.      Tidak mempercayai unsur herediter (keturunan) sebagai penentu perilaku. Perilaku manusia adalah hasil belajar sehingga unsur lingkungan sangat penting (lihat pandangannya yang sangat ekstrim menggambarkan hal ini pada Lundin, 1991 p. 173). Dengan demikian pandangan Watson bersifat deterministik, perilaku manusia ditentukan oleh faktor eksternal, bukan berdasarkan free will.
c.       Dalam kerangka mind-body, pandangan Watson sederhana saja. Baginya, mind mungkin saja ada, tetapi bukan sesuatu yang dipelajari ataupun akan dijelaskan melalui pendekatan ilmiah. Jadi bukan berarti bahwa Watson menolak mind secara total. Ia hanya mengakui body sebagai obyek studi ilmiah. Penolakan dari consciousness, soul atau mind ini adalah ciri utama behaviorisme dan kelak dipegang kuat oleh para tokoh aliran ini, meskipun dalam derajat yang berbeda-beda. [Pada titik ini sejarah psikologi mencatat pertama kalinya sejak jaman filsafat Yunani terjadi penolakan total terhadap konsep soul dan mind. Tidak heran bila pandangan ini di awal mendapat banyak reaksi keras, namun dengan berjalannya waktu behaviorisme justru menjadi populer.
d.      Sejalan dengan fokusnya terhadap ilmu yang obyektif, maka psikologi harus menggunakan metode empiris. Dalam hal ini metode psikologi adalah observation, conditioning, testing, dan verbal reports.
e.       Secara bertahap Watson menolak konsep insting, mulai dari karakteristiknya sebagai refleks yang unlearned, hanya milik anak-anak yang tergantikan oleh habits, dan akhirnya ditolak sama sekali kecuali simple reflex seperti bersin, merangkak, dan lain-lain.
f.       Sebaliknya, konsep learning adalah sesuatu yang vital dalam pandangan Watson, juga bagi tokoh behaviorisme lainnya. Habits yang merupakan dasar perilaku adalah hasil belajar yang ditentukan oleh dua hukum utama, recency dan frequency. Watson mendukung conditioning respon Pavlov dan menolak law of effect dari Thorndike. Maka habits adalah proses conditioning yang kompleks. Ia menerapkannya pada percobaan phobia (subyek Albert). Kelak terbukti bahwa teori belajar dari Watson punya banyak kekurangan dan pandangannya yang menolak Thorndike salah.
g.      Pandangannya tentang memory membawanya pada pertentangan dengan William James. Menurut Watson apa yang diingat dan dilupakan ditentukan oleh seringnya sesuatu digunakan/dilakukan. Dengan kata lain, sejauh smana sesuatu dijadikan habits. Faktor yang menentukan adalah kebutuhan.
h.      Proses thinking and speech terkait erat. Thinking adalah subvocal talking. Artinya proses berpikir didasarkan pada keterampilan berbicara dan dapat disamakan dengan proses bicara yang ‘tidak terlihat’, masih dapat diidentifikasi melalui gerakan halus seperti gerak bibir atau gesture lainnya.
i.        Sumbangan utama Watson adalah ketegasan pendapatnya bahwa perilaku dapat dikontrol dan ada hukum yang mengaturnya. Jadi psikologi adlaah ilmu yang bertujuan meramalkan perilaku. Pandangan ini dipegang terus oleh banyak ahli dan diterapkan pada situasi praktis. Dengan penolakannya pada mind dan kesadaran, Watson juga membangkitkan kembali semangat obyektivitas dalam psikologi yang membuka jalan bagi riset-riset empiris pada eksperimen terkontrol[3].

Rabu, 10 April 2013

Anak - anak dengan Kecacatan Fisik

Perubahan fisik anak sangat  berpengaruh terhadap proses mental dan pergaulan anak. perubahan dan perkembangan fisik anak yang optimal berpengaruh pada kemampuannya beradaptasi dan berkembang terhadap lingkungan disekitarnya. Konsep diri yang baik akan lebih mudah terbentuk dengan anugerah fisik yang baik.  Sementara anak-anak dengan cacat fisik mungkin tidak mengalami ketidakpercayaan diri yang akhirnya berpengaruh besar pada pembentukan konsep dirinya . Karena diri merupakan aspek  yang sangat penting dalam kehidupan individu, sebab konsep diri ini yang memberi identitas mengenai  individu tersebut, serta menentukan keberhasilanya dalam interaksi sosial dan adaptasi terhadap lingkungan.

Berikut adalah bentuk cacat fisik yang sangat kita temui.

1. Cacat yang disebabkan oleh kecelakaan
Sebuah kasus sederhana dalam kaitanya dengan cacat fisik pada anak yang mulai sekitar usia 6 tahun yang mengalami gangguan pandangan , disebabkan kecelakaan saat berpergian bersama orang tuanya. Hingga dewasa pendengarannya  tidak pulih juga. Dalam kasus ini kita akan membahas mengapa anak ini tidak berkembang secara normal.
            Anak yang mengalami gangguan ini sering kali merasa tertekan karena merasa bahwa ia berbeda dari teman-temannya. Ia akan kesulitan menangkap informasi yang ada, kesulitan untuk mentrasformasikan informasi atau pengetahuan baru untuk masuk kedalam system saraf otaknya, serta seringkali membutuhkan bantuan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Sehingga lebih sulit baginya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Semua kesulitan ini pada akhirnya akan membuatnya merasa terasing dan menghambat perkembangan sosialnya.
            Terdapat beberapa cara yang telah disarankan untuk membantu proses belajarnya, antara lain sebagai berikut:
a.    Penderita cacat fisik memiliki lebih banyak keterbatasan dibandingkan dengan teman-teman sebayanya, sehingga membutuhkan bimbingan atau cara pembelajaran khusus. Mereka untuk dilatih untuk begaul dan menengkap informasi yang ad dilingkungasn sekitar dengan tetap menyadari keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya. Misalnya, belajar memahami kode-kode tangan atau bahasa yang biasanya dilakukan anak-anak yang mengalami cacat fisik ( proses pembelajaran di SLB )
b.       Dengan alat medis  seperti alat bantu dengar , kaki palsu atau bantuan untuk mendegarkan informasi yang ada di lingkungan sekitar. Anak-anak dalam keadaan seperti ini akan sangat sensitive perasaanya, ia akan merasa terasing bahKan akan selalu diejek oleh teman-teman bermainya, sehingga perlu adanya motivasi semanagt dan perhatian lebih agar bersaing dengan anak-anak normal lainnya.

2. Cacat yang dibawa mulai dari kandungan
Seorang bayi yang lahir dengan keadaan berkepala besar, yang oleh dokter sudah dinyatakan positif kanker otak, tentu keadaanya lebih buruk dari pada cacat fisik yangtelah dijelaskan diatas. Seorang anak yang mengalami gangguan seperti ini tidak hanya akan mempengaruhi proses berfikirnya tetapi sangat menghambat pertumbuhan fisiknya. Dengan adanya pertumbuhan fisik yang tidak normal ini seoranag anak tidak akan menggunakan alat inderanya atau organ tubuhnya secara maksimal, karena setiap aktivitasnya mengalami keterbatasan yang disebabkan tidak stabilnya proses kerja otak kiri dan otak kanan. Perkembangan kognitif anak ini juga akan terhambat  sehingga sulit untuk mencerna  trasformasi rangsan yang masuk ke dalam saraf otak. Keadaan ini dapat berpengaruh pada daya kreasi anak dan tingkat kematangannya.

Cara berpikir anak seperti ini membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai kedewasaan. Anak-anak ini juga mengalami kesulitan berintertaksi dengan orang lain di luar lingkungan keluarga karena keterbatasan fisik yang membatasi ruang geraknya. Walaupun anak-anak ini mungkin memiliki daya piker yang terhambat , tetapi mereka masih memiliki kapasitas emosional yang dapat membantu mereka dalam berkomunikasi dan memahami perasaan orang lain.

Selasa, 09 April 2013

Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran

Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.

Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal - hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.

Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.

Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.

Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut.


Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar. Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.


Senin, 08 April 2013

Analisis Tentang Teori Behavioristik

Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku  dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam  berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).

Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua

teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori
belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.


Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.


Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.


Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan ataushaping.


Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.


Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada  beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
• Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat  sementara;
• Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari  jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama;
Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.

Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat  positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.

Minggu, 07 April 2013

Teori Belajar Behavior


Banyak  teori tentang belajar yang telah berkembang mulai abad ke 19 sampai sekarang ini. Pada awal abad ke-19 teori belajar yang berkembang pesat dan memberi banyak sumbangan terhadap para ahli psikologi adalah teori belajar tingkah laku (behaviorisme) yang awal mulanya dikembangkan  oleh psikolog Rusia Ivan Pavlav (tahun 1900-an) dengan teorinya yang dikenal dengan istilah pengkondisian klasik (classical conditioning) dan kemudian teori belajar tingkah laku ini dikembangkan oleh beberapa ahli psikologi yang lain seperti Edward Thorndike, B.F Skinner dan Gestalt.
Teori belajar behaviorisme ini berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Pengulangan dan pelatihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau Penilaian didasari atas perilaku yang tampak. Dalam teori belajar ini guru tidak banyak memberikan ceramah,tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi.
Di awal abad 20 sampai sekarang ini teori belajar behaviorisme mulai ditinggalkan dan banyak ahli psikologi yang baru lebih mengembangkan teori belajar kognitif dengan asumsi dasar bahwa kognisi mempengaruhi prilaku. Penekanan kognitif menjadi basis bagi pendekatan untuk pembelajaran. Walaupun teori belajar tigkah laku mulai ditinggalkan diabad ini, namun mengkolaborasikan teori ini dengan teori belajar kognitif dan teori belajar lainnya sangat penting untuk menciptakan pendekatan pembelajaran yang cocok dan efektif, karena pada dasarnya tidak ada satu pun teori belajar yang betul-betul cocok  untuk menciptakan sebuah pendekatan pembelajaran yang pas dan efektif.
           Behaviorisme merupakan salah satu aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam proses balajar. Tujuan utama psikologi membuat prediksi dan mengendalikan prilaku dan sedikitpun tidak ada kaitannya dengan kesadaran.
         Thorndike menggambarkan proses belajar sebagai proses pemecahan masalah (problem solving). Dalam penyelidikan tentang proses belajar, pelajar harus diberi persoalan, dalam hal ini thorndike melakukan eksperimen dengn sebuah puzzelebox.
         Teori behaviorisme Skinner adalah Pengkondisian operan (kondisioning operan). Pengkondisian operan adalah sebentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari prilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas prilaku itu akan diulangi.

Teori Belajar Menurut Thorndike

Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).

Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni:
1)  hukum efek;
2)  hukum latihan dan
3)  hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991).
Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.